Sabtu, 30 Juli 2011

Pengrajin Emas dan Kuningan

Di sebuah negeri, hiduplah dua orang pengrajin yang tinggal bersebelahan.
Seorang diantaranya, adalah pengrajin emas, sedang yang lainnya pengrajin
kuningan. Keduanya telah lama menjalani pekerjaan ini, sebab, ini adalah
pekerjaan yang diwariskan secara turun-temurun. Telah banyak pula barang yang
dihasilkan dari pekerjaan ini. Cincin, kalung, gelang, dan untaian rantai
penghias, adalah beberapa dari hasil kerajinan mereka.

Setiap akhir bulan, mereka membawa hasil pekerjaan ke kota. Hari pasar, demikian
mereka biasa menyebut hari itu. Mereka akan berdagang barang-barang logam itu,
sekaligus membeli barang-barang keperluan lain selama sebulan. Beruntunglah,
pekan depan, akan ada tetamu agung yang datang mengunjungi kota, dan bermaksud
memborong barang-barang yang ada disana. Kabar ini tentu membuat mereka senang.
Tentu, berita ini akan membuat semua pedagang membuat lebih banyak barang yang
akan dijajakan.

Siang-malam, terdengar suara logam yang ditempa. Setiap dentingnya, layaknya
nafas hidup bagi mereka. Tungku-tungku api, seakan tak pernah padam. Kayu bakar
yang tampak membara, seakan menjadi penyulut semangat keduanya. Percik-percik
api yang timbul tak pernah di hiraukan mereka. Keduanya sibuk dengan pekerjaan
masing-masing. Sudah puluhan cincin, kalung, dan untaian rantai penghias yang
siap dijual. Hari pasar makin dekat. Dan lusa, adalah waktu yang tepat untuk
berangkat ke kota.

Hari pasar telah tiba, dan keduanya pun sampai di kota. Hamparan terpal telah
digelar, tanda barang dagangan siap dijajakan. Keduanya pun berjejer
berdampingan. Tampaklah, barang-barang logam yang telah dihasilkan. Namun, ah
sayang, ada kontras yang mencolok diantara keduanya. Walaupun terbuat dari logam
mulia, barang-barang yang dibuat oleh pengrajin emas tampak kusam. Warnanya tak
berkilau. Ulir-ulirnya kasar, dengan pokok-pokok simpul rantai yang tak rapi.
Seakan, sang pembuatnya adalah seorang yang tergesa-gesa.

“Ah, biar saja,” demikian ucapan yang terlontar saat pengrajin kuningan
menanyakan kenapa perhiasaannya kawannya itu tampak kusam. “Setiap orang akan
memilih daganganku, sebab, emas selalu lebih baik dari kuningan,” ujar pengrajin
emas lagi, “Apalah artinya loyang buatanmu dibanding logam mulia yang kupunya,
aku akan membawa uang lebih banyak darimu.” Pengrajin kuningan, hanya tersenyum.
Ketekunannya mengasah logam, membuat semuanya tampak lebih bersinar.
Ulir-ulirnya halus. Lekuk-lekuk cincin dan gelang buatannya terlihat seperli
lingkaran yang tak putus. Liku-liku rantai penghiasnya pun lebih sedap di
pandang mata.

Ketekunan, memang sesuatu yang mahal. Hampir semua orang yang lewat, tak menaruh
perhatian kepada pengrajin emas. Mereka lebih suka mendatangi, dan
melihat-melihat cincin dan kalung kuningan. Begitupun tetamu agung yang berkenan
datang. Mereka pun lebih menyukai benda-benda kuningan itu dibandingkan dengan
logam mulia. Sebab, emas itu tidaklah cukup mereka tertarik, dan mau membelinya.
Sekali lagi, terpampang kekontrasan di hari pasar itu. Pengrajin emas yang
tertegun diam, dan pengrajin kuningan yang tersenyum senang.

Hari pasar telah usai, dan para tetamu telah kembali pulang. Kedua pengrajin itu
pun telah selesai membereskan dagangan. Dan agaknya, keduanya mendapat pelajaran
dari apa yang telah mereka lakukan hari itu.

***

Teman, ketekunan memang sesuatu yang mahal. Tak banyak orang yang bisa menjalani
pekerjaan ini. Begitupun juga kemuliaan dan harga diri, tak banyak orang yang
menyadari, bahwa kedua hal itu, kadang tak berasal dari apa yang kita sandang
hari ini. Setidaknya, tindak-laku kedua pengrajin itu, adalah potongan siluet
kehidupan kita.

Ketekunan, adalah titian panjang yang licin berliku. Seringkali, jalan panjang
itu membuat kita terpelincir, dan jatuh. Seringkali pula, titian itu menjadi
saringan penentu bagi setiap orang yang hendak menuju kebahagiaan di ujung
simpulnya. Namun, percayalah, ada balasan bagi setiap ketekunan. Di ujung sana,
akan ada sesuatu yang menunggu setiap orang yang mau menekuni jalan itu.

Emas dan kuningan, bisa jadi punya nilai yang berbeda. Namun, apakah kemuliaan
dinilai hanya dari apa disandang keduanya? Apakah harga diri hanya ditunjukkan
dari simbol-simbol yang tampak di luar? Sebab, kita sama-sama belajar dari
pengrajin kuningan, bahwa loyang, kadang bernilai lebih dibanding logam mulia.
Dan juga bahwa kemuliaan, adalah buah dari ketekunan.

Bisa jadi saat ini kita pandai, kaya, punya kedudukan yang tinggi, dan hidup
sempurna layaknya emas mulia. Namun, adakah semua itu berharga jika ulir-ulir
hati kita kasar dan kusam? Adakah itu mulia jika, lekuk-lekuk kalbu kita koyak
dan penuh dengan tonjolan-tonjolan kedengkian? Adakah itu semua punya harga,
jika, pokok-pokok simpul jiwa yang kita punya, tak di penuhi dengan
simpul-simpul ikhlas dan perangai yang luhur?

Teman, mari kita asah kalbu dan hati kita agar bersinar mulia. Mari, kita bentuk
ulir dan lekuk-lekuk jiwa kita dengan ketekunan agar menampilkan cahaya-Nya.
Susunlah simpul-simpul itu, dengan jalinan keluhuran budi dan perilaku. Tempalah
dengan kesungguhan diri, agar hati kita tak keras, dan menjadi lembut, luwes
serta mampu memenuhi hati orang lain.

Percayalah, akan ada imbalan untuk semua itu. Amin. 

0 comments:

Posting Komentar

Thanks Sudah Berkunjung dan Kasih Komen ^^