Kebahagiaan adalah mata pencahariaan hampir setiap orang. Entah itu bekerja, menikah, berdoa dan kegiatan hidup lainnya, semuanya bermuara pada samudera yang bernama kebahagiaan. Boleh Anda lakukan survey di pinggir jalan, mungkin semua manusia normal menginginkan kebahagiaan. Demikian dahsyatnya daya tarik kebahagiaan, sehingga banyak orang yang mau mencapainya dengan ongkos dan biaya yang sebesar apapun. Maka, jadilah hidup seperti perjalanan yang diharapkan bermuara pada kebahagiaan.
Akan tetapi, kendati sudah menjadi tujuan manusia sejak lama, dan manusia sudah menghabiskan tenaga, waktu dan dana yang teramat besar, masih saja tersisa banyak sekali orang yang tidak puas akan hal ini. Di banyak pojokan kehidupan bahkan terjadi, ada tidak sedikit kehidupan yang hanya bergelimang air mata. Pojokan-pojokan seperti ini tidak hanya tersedia di tempat miskin yang kumuh, melainkan juga terjadi di perumahan elit lengkap dengan mobil mewahnya.
Kenyataan terakhir seperti mengajarkan ke kita, bahwa tawa dan air mata tidak mengenal sekat-sekat harta. Keduanya bisa terjadi pada tingkatan harta berapapun dan di manapun. Lantas, adakah sesuatu yang menjadi ciri khas hadirnya tawa dan air mata? Meminjam argumen Hugh Down – sebagaimana dikutip penulis buku A Cup of Chicken Soup For the Soul – ‘orang yang berbahagia bukanlah seseorang yang berada dalam suatu keadaan tertentu, melainkan seseorang dengan perangkat sikap tertentu.’ Kalau dicermati argumen terakhir, point pentingnya bukanlah keadaan (baca: harta, tahta dan keadaan lainnya) melainkan perangkat sikap kitalah yang lebih menentukan seberapa lama umur kebahagiaan bisa kita miliki. Dengan perangkat sikap yang tepat, mau miskin atau kaya, jabatan tinggi atau rendah, di kota atau di desa, semuanya dibukakan pintu kebahagiaan yang sama lebarnya oleh Tuhan.
Persoalannya, jarang orang yang mencari kebahagiaan melalui jalur-jalur sikap. Umumnya, orang mengejarnya di sektor keadaan. Maka, jadilah kegiatan terakhir seperti kegiatan mengejar kaki langit yang tidak mengenal akhir. Atau seperti mengejar bayangan sendiri.
Oleh karena tuntutan pekerjaan, serta kebiasaan hidup untuk senantiasa bergaul di atas maupun di bawah, tidak jarang saya bertemu orang yang dibuat sengsara oleh nafsu berlebihan untuk mencapai keadaan tertentu. Didorong oleh mesin kejam yang bernama keinginan, jadilah tubuh dan hidupnya seperti mobil yang bergerak cepat tapi tanpa sopir. Kerap sampai dalam keadaan yang diinginkan memang. Tetapi, ongkos yang dibayarnya amat dan teramat mahal. Tidak jarang terjadi, ongkosnya adalah kehidupan mereka sendiri.
Agak berbeda dengan pencari-pencari harta dan tahta, ada sejumlah orang yang saya kenal yang memusatkan sebagian besar energi dalam perbaikan dan pengembangan sikap. Fokusnya memang bukan keadaan yang ada di luar sana, melainkan sikap yang muncul dari dalam sini. Tidak mudah tentunya, terutama pada awalnya. Dan saya sendiri masih dalam tahap belajar. Namun, begitu wilayah sikap ini sudah terkuasai, kebahagiaan bukanlah barang yang teramat langka dan mahal.
Sebutlah seorang tokoh mengagumkan yang bernama Helen Keller. Ia memiliki keadaan dalam bentuk matanya yang tidak bisa melihat. Akan tetapi, separuh lebih waktunya diisi dengan raut muka yang penuh dengan senyum. Demikian juga dengan Bunda Theresa, hidupnya sebagian besar dikelilingi orang-orang berpenyakit di lingkunang miskin. Akan tetapi, toh beliau bisa memiliki umur tua dan panjang. Buddha bahkan meninggalkan harta dan tahta untuk mencapai pencerahan. Sebenarnya masih ada contoh lain yang terlalu panjang untuk diceritakan di sini. Yang jelas, sikaplah kunci yang amat menentukan dalam perjalanan menuju kebahagiaan. Berkaitan dengan hal ini, ada sebuah pepatah cina yang menarik perhatian saya. Pepatah tersebut berbunyi amat sederhana. Jika kau menginginkan kebahagiaan. Untuk sejam – tidurlah selama itu. Untuk sehari – pergilah memancing. Untuk sebulan – menikahlah lagi. Untuk setahun – warisi harta. Untuk seumur hidup – tolonglah orang lain. Lama sempat saya terpaku pada pepatah sederhana terakhir. Semakin ia didalami, semakin saya dibawa ke dalam rangkaian pemahaman tentang kebahagiaan yang demikian lengkap dan mengagumkan. Sikap, itulah hulu dari sungai kebahagiaan. Lebih-lebih kalau sikap terakhir dijabarkan ke dalam sikap rajin membantu dan menolong orang lain. Sungai kebahagiaan akan menjadi sungai yang tidak pernah mengenal kering.
Entah bagaimana Anda menjabarkan kalimat ‘tolonglah orang lain’. Saya mengenal seorang sahabat yang kaya secara materi dan hidupnya berakhir mengagumkan. Ketika beliau masih hidup, sering kali merayakan ulang tahunnya di panti asuhan dan panti jompo secara bergantian. Memiliki anak asuh di mana-mana. Tutur katanya demikian lemah lembut. Mengingatkan kesalahan saya secara amat pas dan tidak pernah menyakiti hati. Banyak sekali sahabatnya – termasuk saya – yang demikian kehilangan ketika beliau meninggal dunia.
Semua ini seperti mengingatkan kita, bersikaplah yang positif, dan kitapun sudah sampai pada keadaan bahagia selamanya.
When all things are done well, the journey is the reward
Akan tetapi, kendati sudah menjadi tujuan manusia sejak lama, dan manusia sudah menghabiskan tenaga, waktu dan dana yang teramat besar, masih saja tersisa banyak sekali orang yang tidak puas akan hal ini. Di banyak pojokan kehidupan bahkan terjadi, ada tidak sedikit kehidupan yang hanya bergelimang air mata. Pojokan-pojokan seperti ini tidak hanya tersedia di tempat miskin yang kumuh, melainkan juga terjadi di perumahan elit lengkap dengan mobil mewahnya.
Kenyataan terakhir seperti mengajarkan ke kita, bahwa tawa dan air mata tidak mengenal sekat-sekat harta. Keduanya bisa terjadi pada tingkatan harta berapapun dan di manapun. Lantas, adakah sesuatu yang menjadi ciri khas hadirnya tawa dan air mata? Meminjam argumen Hugh Down – sebagaimana dikutip penulis buku A Cup of Chicken Soup For the Soul – ‘orang yang berbahagia bukanlah seseorang yang berada dalam suatu keadaan tertentu, melainkan seseorang dengan perangkat sikap tertentu.’ Kalau dicermati argumen terakhir, point pentingnya bukanlah keadaan (baca: harta, tahta dan keadaan lainnya) melainkan perangkat sikap kitalah yang lebih menentukan seberapa lama umur kebahagiaan bisa kita miliki. Dengan perangkat sikap yang tepat, mau miskin atau kaya, jabatan tinggi atau rendah, di kota atau di desa, semuanya dibukakan pintu kebahagiaan yang sama lebarnya oleh Tuhan.
Persoalannya, jarang orang yang mencari kebahagiaan melalui jalur-jalur sikap. Umumnya, orang mengejarnya di sektor keadaan. Maka, jadilah kegiatan terakhir seperti kegiatan mengejar kaki langit yang tidak mengenal akhir. Atau seperti mengejar bayangan sendiri.
Oleh karena tuntutan pekerjaan, serta kebiasaan hidup untuk senantiasa bergaul di atas maupun di bawah, tidak jarang saya bertemu orang yang dibuat sengsara oleh nafsu berlebihan untuk mencapai keadaan tertentu. Didorong oleh mesin kejam yang bernama keinginan, jadilah tubuh dan hidupnya seperti mobil yang bergerak cepat tapi tanpa sopir. Kerap sampai dalam keadaan yang diinginkan memang. Tetapi, ongkos yang dibayarnya amat dan teramat mahal. Tidak jarang terjadi, ongkosnya adalah kehidupan mereka sendiri.
Agak berbeda dengan pencari-pencari harta dan tahta, ada sejumlah orang yang saya kenal yang memusatkan sebagian besar energi dalam perbaikan dan pengembangan sikap. Fokusnya memang bukan keadaan yang ada di luar sana, melainkan sikap yang muncul dari dalam sini. Tidak mudah tentunya, terutama pada awalnya. Dan saya sendiri masih dalam tahap belajar. Namun, begitu wilayah sikap ini sudah terkuasai, kebahagiaan bukanlah barang yang teramat langka dan mahal.
Sebutlah seorang tokoh mengagumkan yang bernama Helen Keller. Ia memiliki keadaan dalam bentuk matanya yang tidak bisa melihat. Akan tetapi, separuh lebih waktunya diisi dengan raut muka yang penuh dengan senyum. Demikian juga dengan Bunda Theresa, hidupnya sebagian besar dikelilingi orang-orang berpenyakit di lingkunang miskin. Akan tetapi, toh beliau bisa memiliki umur tua dan panjang. Buddha bahkan meninggalkan harta dan tahta untuk mencapai pencerahan. Sebenarnya masih ada contoh lain yang terlalu panjang untuk diceritakan di sini. Yang jelas, sikaplah kunci yang amat menentukan dalam perjalanan menuju kebahagiaan. Berkaitan dengan hal ini, ada sebuah pepatah cina yang menarik perhatian saya. Pepatah tersebut berbunyi amat sederhana. Jika kau menginginkan kebahagiaan. Untuk sejam – tidurlah selama itu. Untuk sehari – pergilah memancing. Untuk sebulan – menikahlah lagi. Untuk setahun – warisi harta. Untuk seumur hidup – tolonglah orang lain. Lama sempat saya terpaku pada pepatah sederhana terakhir. Semakin ia didalami, semakin saya dibawa ke dalam rangkaian pemahaman tentang kebahagiaan yang demikian lengkap dan mengagumkan. Sikap, itulah hulu dari sungai kebahagiaan. Lebih-lebih kalau sikap terakhir dijabarkan ke dalam sikap rajin membantu dan menolong orang lain. Sungai kebahagiaan akan menjadi sungai yang tidak pernah mengenal kering.
Entah bagaimana Anda menjabarkan kalimat ‘tolonglah orang lain’. Saya mengenal seorang sahabat yang kaya secara materi dan hidupnya berakhir mengagumkan. Ketika beliau masih hidup, sering kali merayakan ulang tahunnya di panti asuhan dan panti jompo secara bergantian. Memiliki anak asuh di mana-mana. Tutur katanya demikian lemah lembut. Mengingatkan kesalahan saya secara amat pas dan tidak pernah menyakiti hati. Banyak sekali sahabatnya – termasuk saya – yang demikian kehilangan ketika beliau meninggal dunia.
Semua ini seperti mengingatkan kita, bersikaplah yang positif, dan kitapun sudah sampai pada keadaan bahagia selamanya.
When all things are done well, the journey is the reward
0 comments:
Posting Komentar
Thanks Sudah Berkunjung dan Kasih Komen ^^