Today is wonderful!

Orang yang tak pernah membuat kesalahan, maka tak akan pernah mencoba sesuatu yang baru." - Albert Einstein

Today you will be success!

Orang-orang yang ada di sekitarmu dapat dijadikan inspirasi, atau bahkan menguras tenagamu. Jadi, pilihlah secara baik-baik."Hans F. Hanson

Today I want to around the world!

"Kamu tidak akan pernah bisa kehabisan kreativitas. Semakin kamu menggunakannya, semakin banyak yang kamu miliki." - Maya Angelou

Today i will meet you in romantic place!

"Pikiran kita ibarat parasut, hanya berfungsi ketika terbuka." - Walt Disney

Today I will come to BTS concert!

"Jangan ragu untuk membuang apa yang tidak kau perlukan" Florist in RUN BTS ep. 98

Jumat, 25 November 2011

Rose, Sarjana Tertua..


Hari pertama kuliah di kampus, profesor memperkenalkan diri dan menantang kami untuk berkenalan dengan seseorang yang belum kami kenal. Saya berdiri dan melihat sekeliling ketika sebuah tangan lembut menyentuh bahu saya. Saya menengok dan mendapati seorang wanita tua, kecil, dan berkeriput, memandang dengan wajah yang berseri-seri dengan senyum yang cerah.

Ia menyapa, "Halo anak cakep. Namaku Rose. Aku berusia delapan puluh tujuh. Maukah kamu memelukku?"Saya tertawa & dengan antusias menyambutnya, "Tentu saja boleh!".Diapun memberi saya pelukan yang sangat erat."Mengapa kamu ada di kampus pada usia yang masih muda dan tak berdosa seperti ini?" tanya saya berolok-olok.Dengan bercanda dia menjawab, "Saya di sini untuk menemukan suami yang kaya, menikah, mempunyai beberapa anak, kemudian pensiun dan bepergian.""Ah yang serius?" pinta saya. Saya sangat ingin tahu apa yang telah memotivasinya untuk mengambil tantangan ini di usianya."Saya selalu bermimpi untuk mendapatkan pendidikan tinggi dan kini saya sedang mengambilnya!" katanya.

Setelah jam kuliah usai, kami berjalan menuju kantor senat mahasiswa dan berbagi segelas chocolate milkshake. Kami segera akrab. Dalam tiga bulan kemudian, setiap hari kami pulang bersama-sama dan bercakap-cakap tiada henti. Saya selalu terpesona mendengarkannya berbagai pengalaman dan kebijaksanaannya.

Setelah setahun berlalu, Rose menjadi bintang kampus dan dengan mudah dia berkawan dengan siapapun. Dia suka berdandan dan segera mendapatkan perhatian dari para mahasiswa lain. Dia pandai sekali menghidupkannya suasana.

Pada akhir semester kami mengundang Rose untuk berbicara di acara makan malam klub sepak bola kami.Saya tidak akan pernah lupa apa yang diajarkannya pada kami.Dia diperkenalkan dan naik ke podium.Begitu dia mulai menyampaikan pidato yang telah dipersiapkannya, tiga dari lima kartu pidatonya terjatuh ke lantai.Dengan gugup dan sedikit malu dia bercanda pada mikrofon.Dengan ringan berkata, "Maafkan saya sangat gugup.Saya sudah tidak minum bir. Tetapi wiski ini membunuh saya.Saya tidak bisa menyusun pidato saya kembali, maka ijinkan saya menyampaikan apa yang saya tahu."

Saat kami tertawa dia membersihkan kerongkongannya dan mulai,"Kita tidak pernah berhenti bermain karena kita tua; kita menjadi tua karena kita berhenti bermain.Hanya ada empat rahasia untuk tetap awet muda, tetap bahagia, dan meraih sukses.Kamu harus tertawa dan menemukan humor setiap hari.Kamu harus mempunyai mimpi.Bila kamu kehilangan mimpi-mimpimu, kamu mati.Ada banyak sekali orang yang berjalan di sekitar kita yang mati namun tidak mengetahuinya!"

"Sungguh jauh berbeda antara menjadi tua dan menjadi dewasa.Bila kamu berumur sembilan belas tahun dan berbaring di tempat tidur selama satu tahun penuh, tidak melakukan apa-apa, kamu tetap akan berubah menjadi dua puluh tahun.Bila saya berusia delapan puluh tujuh tahun dan tinggal ditempat tidur selama satu tahun, tidak melakukan apapun, saya tetap akan menjadi delapan puluh delapan.Setiap orang pasti menjadi tua.Itu tidak membutuhkan suatu keahlian atau bakat.Tumbuhlah dewasa dengan selalu mencari kesempatan dalam perubahan. "Jangan pernah menyesal. Orang-orang tua seperti kami biasanya tidak menyesali apa yang telah diperbuatnya, tetapi lebih menyesali apa yang tidak kami perbuat.Orang-orang yang takut mati adalah mereka yang hidup dengan penyesalan."

Rose mengakhiri pidatonya dengan bernyanyi "The Rose".Dia menantang setiap orang untuk mempelajari liriknya dan menghidupkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Akhirnya Rose meraih gelar sarjana yang telah diupayakannya sejak beberapa tahun lalu.Seminggu setelah wisuda, Rose meninggal dunia dengan damai.

Lebih dari dua ribu mahasiswa menghadiri upacara pemakamannya sebagai penghormatan pada wanita luar biasa yang mengajari kami dengan memberikan teladan bahwa tidak ada yang terlambat untuk apapun yang bisa kau lakukan.

Ingatlah, menjadi tua adalah keharusan, menjadi dewasa adalah pilihan. 

Sepotong Kepala Ayam untuk Ayah


Ketika sore sepulang kerja seorang suami melihat istri yang tertidur pulas karena kecapekan bekerja seharian di rumah. Sang suami mencium kening istrinya dan bertanya, 'Mah, udah sholat ashar belum?' Istrinya terbangun dengan hati berbunga-bunga menjawab pertanyaan suami, 'sudah yah..' Istrinya beranjak dari tempat tidur mengambil piring yang tertutup, sore itu istrinya memasak kesukaan sang suami. 'Lihat nih, aku memasak khusus kesukaan ayah.' Piring itu dibukanya, ada sepotong kepala ayam yang terhidang untuk dirinya.

Sang suami memakannya dengan lahap dan menghabiskan. Istrinya bertanya, 'Ayah, kenapa suka makan kepala ayam padahal aku sama anak2 paling tidak suka ama kepala ayam.' Suaminya menjawab, 'Itulah sebabnya karena kalian tidak suka maka ayah suka makan kelapa ayam supaya engkau dan anak-anak mendapatkan bagian yang terenak.' Mendengar jawaban sang suami, Terlihat butir-butir mutiara mulai menuruni pipinya. Jawaban itu menyentak kesadarannya yang paling dalam. Tidak pernah dipikirkan olehnya ternyata sepotong kepala ayam begitu indahnya sebagai wujud kasih sayang yang tulus kecintaan suami terhadap dirinya dan anak-anak. 'Makasih ya ayah atas cinta dan kasih sayangnya.' ucap sang istri. Suaminya menjawab dengan senyuman, pertanda kebahagiaan hadir didalam dirinya.

Teman, Kita seringkali mengabaikan sesuatu yang kecil namun memiliki makna yang begitu besar, didalamnya terdapat kasih sayang, cinta, pengorbanan dan tanggungjawab sekalipun sesuatu yang kecil itu adalah sepotong kepala ayam. Semoga cerita diatas kita bisa mengambil hikmah dengan mencintai setulus hati keluarga kita. 

Terima kasih Pak Hamid, Kami bangga menjadi murid Bapak.....

Pak Hamid duduk termangu. Dipandanginya benda-benda yang berjajar di depannya dengan masygul. Bertahun-tahun dimilikinya dengan penuh kebanggaan. Dirawat dengan baik hingga selalu bersih dan mengkilap. Jika ada orang yang bertanya, Pak Hamid akan bercerita dengan penuh kebanggaan.

Siapa yang tidak bangga memiliki benda-benda itu? Berbagaipenghargaan yang diterimanya selama 35 tahun pengabdiannya sebagai guru di daerah terpencil. Daerah terisolasi yang tidak diminati oleh guru-guru yang lain.

Namun Pak Hamid ikhlas menjalaninya, walau dengan gaji yang tersendat dan minimnya fasilitas sekolah. Cinta Pak Hamid pada anak-anak kecil yang bertelanjang kaki dan rela berjalan jauh untuk mencari ilmu, mampu menutup keinginannya untuk pindah ke daerah lain yang lebih nyaman.

Kini masa itu sudah lewat. Masa pengabdiannya usai sudah pada usianya yang keenam puluh. Meskipun berat hati, Pak Hamid harus meninggalkan desa itu beserta keluarganya. Mereka tinggal di rumah peninggalan mertuanya di pinggir kota. Jauh dari anak didik yang dicintainya, jauh dari jalan tanah, sejuknya udara dan beningnya air yang selama ini menjadi nafas hidupnya.

“Hei, jualan jangan melamun!” teriak pedagang kaos kaki di sebelahnya. Pak Hamid tergagap.

“Tawarkan jualanmu itu pada orang yang lewat. Kalau kamu diam saja, sampek elek ra bakalan payu!”* kata pedagang akik di sebelahnya.

“Jualanmu itu menurutku agak aneh,” ujar pedagang kaos kaki lagi. “Apa ada yang mau beli barang-barang seperti itu ? Mungkin kamu mesti berjualan di tempat barang antik. Bukan di kaki lima seperti ini”.

Pak Hamid tak menjawab. Itu pula yang sedang dipikirkannya. Siapa yang tertarik untuk membeli plakat-plakat itu? Bukanlah benda-benda itu tidak ada gunanya bagi orang lain, sekalipun sangat berarti baginya ?

“Sebenarnya kenapa sampai kau jual tanda penghargaan itu ?” tanya pedagang akik.“Saya butuh uang.”

“Apa istri atau anakmu sedang sakit ?”“Tidak. Anak bungsuku hendak masuk SMU. Saya butuh uang untuk membayar uang pangkalnya.”

“Kenapa tidak ngutang dulu. Siapa tahu ada yang bisa membantumu.”“Sudah. Sudah kucoba kesana-kemari, namun tak kuperoleh juga.”

“Hei, bukankah kau punya gaji...eh... pensiun maksudku.”“Habis buat nyicil montor untuk ngojek si sulung dan buat makan sehari-hari.”

Penjual akik terdiam. Mungkin merasa maklum, sesama orang kecil yang mencoba bertahan hidup di kota dengan berjualan di kaki lima .“Kau yakin jualanmu itu akan laku?”penjual kaos kaki bertanya lagi setelah beberapa saat. Matanya menyiratkan iba.“Insya Allah. Jika Allah menghendaki aku memperoleh rejeki, maka tak ada yang dapat menghalanginya.”

Siang yang panas. Terik matahari tidak mengurangi hilir mudik orang-orang yang berjalan di kaki lima itu. Beberapa orang berhenti, melihat-lihat akik dan satu dua orang membelinya. Penjual akik begitu bersemangat merayu pembeli. Rejeki tampaknya lebih berpihak pada penjual kaos kaki. Lebih dari dua puluh pasang kaos kaki terjual. Sedangkan jualan Pak Hamid, tak satupun yang meliriknya.

Keringat membasahi tubuh Pak Hamid yang mulai renta dimakan usia. Sekali lagi dipandanginya plakat-plakat itu. Kegetiran membuncah dalam dadanya. Berbagai penghargaan itu ternyata tak menghidupinya. Penghargaan itu hanya sebatas penghargaan sesaat yang kini hanya tinggal sebuah benda tak berharga.

Sebuah ironi yang sangat pedih. Tak terbayangkan sebelumnya. Predikatnya sebagaiguru teladan bertahun yang lalu, tak sanggup menghantarkan anaknya memasuki sekolah SMU. Sekolah untuk menghantarkan anaknya menggapai cita-cita, yang dulu selalu dipompakan ke anak-anak didiknya. Saat kegetiran dan keputusasaan masih meliputinya, Pak Hamid dikejutkan oleh sebuah suara.

“Bapak hendak menjual plakat-plakat ini?” seorang lelaki muda perlente berjongkoksambil mengamati jualan Pak Hamid. Melihat baju yang dikenakannnya dan mobil mewah yang ditumpanginya, ia sepertinya lelaki berduit. Pak Hamid tiba-tiba berharap.

“Ya...ya..saya memang menjual plakat-plakat ini,” jawab Pak Hamid gugup.“Berapa bapak jual setiap satuannya?”

Pak Hamid berfikir,”Berapa ya? Bodoh benar aku ini. Dari tadi belum terpikirkan olehku harganya.”

“Berapa, Pak?”“Eee...tiga ratus ribu.”“Jadi semuanya satu juta lima ratus. Boleh saya beli semuanya ?”

Hah! Dibeli semua, tanpa ditawar lagi! Kenapa tidak kutawarkan dengan harga yang lebih tinggi? Pikir Pak Hamid sedikit menyesal. Tapi ia segera menepis sesalnya. Sudahlah, sudah untung bisa laku.

“Apa bapak punya yang lain. Tanda penghargaan yang lain misalnya ...”Tanda penghargaan yang lain? Pak Hamid buru-buru mengeluarkan beberapa piagam dari tasnya yang lusuh. Piagam sebagai peserta penataran P4 terbaik, piagam gurumatematika terbaik se kabupaten, bahkan piagam sebagai peserta Jambore dan lain-lain piagam yang sebenarnya tidak begitu berarti. Semuanya ada sepuluh buah.

“Bapak kasih harga berapa satu buahnya ?”“Dua ratus ribu.” Hanya itu yang terlintas di kepalanya.

“Baik. Jadi semuanya seharga tiga juta lima ratus ribu. Bapak tunggu sebentar, saya akan ambil uang di sana itu.” kata lelaki perlente itu sambil menunjuk sebuahbank yang berdiri megah tak jauh dari situ.“Ya...ya..saya tunggu.” kata Pak Hamid masih tak percaya.

Menit-menit yang berlalu sungguh menggelisahkan. Benarkah lelaki muda itu hendak membeli plakat-plakat dan berbagai tanda penghargaannya? Atau dia hanya penipu yang menggoda saja? Pak Hamid pasrah.

Tapi nyatanya, lelaki itu kembali juga akhirnya dengan sebuah amplop coklat di tangannya. Pak Hamid menghitung uang dalam amplop, lalu buru-buru membungkusplakat-plakat dan berbagai tanda penghargaan miliknya dengan kantong, seakan-akan takut lelaki muda itu berubah pikiran.

Dipandangnya lelaki muda itu pergi dengan gembira bercampur sedih. Ada yang hilang dari dirinya. Kebanggaan atau mungkin juga harga dirinya. Pak Hamid kini melipat alas dagangannya dan segera beranjak meninggalkan tempat itu, meninggalkan pedagang akik dan kaos kaki yang terbengong-bengong. Entah apa yang mereka pikirkan. Namun, ia tak sempat berfikir soal mereka, pikirannya sendiri pun masih kurang dapat mempercayai apa yang baru saja terjadi.

“Lebih baik pulang jalan kaki saja. Mungkin sepanjang jalan aku bisa menata perasaanku. Sebaik mungkin. Aku tidak ingin istriku melihatku merasa kehilanganplakat-plakat itu. Aku tidak ingin ia melihatku menyesal telah menjualnya. Karena aku ingin anakku sekolah, aku ingin dia sekolah!” Pak Hamid bertutur panjang dalam hati.

Ia melangkah gontai menuju rumah. Separuh hatinya begitu gembira, akhirnya si bungsu dapat sekolah. Tiga setengah juta cukup untuk membiayai uang pangkal dan beberapa bulan SPP. Namun, separuh bagian hatinya yang lain menangis, kehilanganplakat-plakat itu, yang sekian tahun lamanya selalu menjadi kebanggaannya.

Jarak tiga kilometer dan waktu yang terbuang tak dipedulikannya. Sesampainya di rumah, istrinya menyambutnya dengan wajah khawatir.

“Ada apa, Pak? Apa yang terjadi denganmu? Tadi ada lelaki muda yang mencarimu. Dia memberikan bungkusan ini dan sebuah surat. Aku khawatir sampeyan ada masalah.”

Pak Hamid tertegun. Dilihatnya kantong plastik hitam di tangan istrinya. Sepertinya ia mengenali kantong itu. Dibukanya kantong itu dengan terburu-buru. Dan...plakat-plakat itu, tanda penghargaan itu ada di dalamnya! Semuanya! Tak ada yang berkurang satu bijipun! Apa artinya ini? Apakah lelaki itu berubah pikiran? Mungkin ia bermaksud mengembalikan semuanya. Atau mungkin harga yang diberikannya terlalu mahal.

Batin Pak Hamid bergejolak riuh. Segera dibukanya surat yang diangsurkan istrinya ke tangannya. Sehelai kartu nama terselip di dalam surat pendek itu.

Pak Hamid yang saya cintai,Saya kembalikan plakat-plakat ini. Plakat-plakat ini bukan hanya berarti untuk Bapak, tapi juga buat kami semua, murid-murid Bapak. Kami bangga menjadi murid Bapak. Terima kasih atas semua jasa Bapak.

Gunarto, lulusan tahun 75.

Tak ada kata-kata. Hanya derasnya air mata yang membasahi pipi Pak Hamid.

sumber : mylink 

Caraku Mencintaimu

Seorang perempuan baru saja melihat rekan perempuannya mendapat kiriman buket bunga yang besar dan cantik dari seorang kurir. Usut punya usut, ternyata bunga tersebut dari suaminya. Suaminya membuat kejutan dengan mengirimkan bunga untuk merayakan ulang tahun pernikahannya di tahun ke dua.

Yang mendapat bunga sumringah bahagia, dan seluruh rekan perempuan di kantornya itu menjadi iri di buatnya.
Agak siang, si perempuan mendapati rekan meja sebelahnya senyum-senyum simpul sendiri. Tak urung dia tanyakan hal tersebut kepada si pemilik senyum. Rupa-rupanya, rekan perempuannya tersebut baru saja mendapati sebuahmessage romantis dan manis di dinding facebooknya.
Lagi, si perempuan merasa iri.


Sesampainya di rumah. Si perempuan tersebut menyampaikan kisah-kisah yang didapat di kantor seharian kepada suaminya. Sang suami pun mendengarkan dengan seksama.
Sampai kemudian, sang perempuan mengeluarkan kalimat andalannya berikut ini.
"Kamu, selama hampir enam tahun pernikahan kita, bisa dihitung dengan jari kapan kamu memberikan aku bunga..."
Sang suami terdiam.
"Jangankan makan malam romantis, kirim pesan romantis di wall facebook aja kamu gak pernah. Aku ngerti siy itu bukan tipe kamu, dan kamu memang gak nyaman melakukan semua itu. Tapi sesekali, apa salahnya siy, bikin senang aku, bikin aku sadar kalau kamu betul-betul sayang aku gituh..."
Sang suami tetap terdiam.
"Jangan salah, aku tahu kok kamu sayang banget sama aku. Cuma, yah...bikin kek hatiku senang sekali-sekali..."
Kali ini si suami hanya tersenyum sedikit, mengusap rambut sang istri, kemudian mengecup keningnya, lantas berkata...
"Aku pamit pergi keluar dulu, ya? Mau merokok..."
Sang istri mendengus, dan memutuskan pergi tidur lebih dahulu.
***

Pagi hari, ketika si perempuan itu sudah kembali sampai di kantor dan hendak melakukan ritual wajib pagi hari di toilet kantor, yaitu, berdandan.
Dia menemukan selembar kertas yang dilipat begitu saja, dijejalkan dalam kotak make-upnya.

Quote
[indent]
Istriku sayang,
Aku memang tidak romantis.
Aku memang tidak membelikanmu bunga, atau mengajakmu makan malam di restaurant pinggir pantai.
Atau mungkin tidak bisa memberikanmu puisi indah. Maafkan, kamu benar, itu memang bukan gayaku, dan sesungguhnya aku tidak bisa melakukannya.
Aku mencintaimu dengan caraku sendiri. Entahlah kalau kamu sadar atau tidak.
Aku mencintaimu dengan mengantarkanmu ke kantor dan menjemputmu kembali. Karena aku tahu betul, betapa kamu membenci naik bus yang katamu busuk dan sumpek itu.
Aku bahkan rela baru membuat janji temu dengan orang atau melakukan pekerjaan lain setelah mengantarkanmu. Tahu kenapa aku sering meeting malam hari? Karena aku ingin menjemputmu dulu dari kantor, dan memastikanmu kembali ke rumah dengan selamat.
Aku mencintaimu dengan cara mengerti bahwa kamu tidak suka memasak. Aku tahu kamu bisa, walau kamu tidak menikmatinya. Katamu seluruh badanmu jadi bau dapur. Kamu tak suka mengiris cabe, memotong bawang, dan terkena percikan minyak panas. Tidak apa, aku mengerti, sayang...
Aku mencintaimu dengan cara mengajak anak kita bermain di hari Minggu. Semata supaya kamu bisa punya waktu di salon. Dipijat, dilulur, pokoknya segalanya yang katamu "me time" itu.
Aku mencintaimu dengan cara membetulkan selimut mu malam hari. Saat AC menjadi dingin, tapi kamu pasti misuh-misuh kalau aku matikan ACnya.
Aku tahu, hal tersebut memang tidak ada romantis-romantisnya. Untuk itu, aku minta maaf.
Tapi, begitulah caraku mencintaimu.
Aku harap, kau mengerti.


Dan, si perempuan yang tadinya hendak berdandan itu, membanjiri wajahnya dengan air mata. Sekarang, dia merasa menjadi istri paling tidak tahu diri, di dunia... 



sumber : http://www.bluefame.com/topic/465799-caraku-mencintaimu/

Rabu, 02 November 2011

Mie.. Lagi.. Mie.. Lagi.. Ini Dia Mie.. Telkom..

Purwokerto,  21 Oktober 2011 Pukul 12:27


Sejak kapan Telkom buka cabang mie ayam… hew2.. bukan siy.. Mie ayam ini letaknya ada di dekat kantor Telkom cabang Purwokerto yang di Jl. Merdeka, tepatnya di depan SMK Mardikenya disitu ada banner Mie Ayam Telkom jadi tempatnya gampang dicari. Kemarin diajak Siti makan-makan pas ulang tahunnya. Hew2.. yang namanya makan-makan ya semangat dunk.. ampe2.. chan nyampe disana duluan.. buset dah yang nraktir aja belum nyampe kok yang ditraktir dah dating duluan, ntar kalo gak jadi ditraktir gimana hew2…

Disana kita makan rame-rame, asyik juga nich.. walau di hati kangen ma yayank karena gak bisa maem bareng hikz2… kapan-kapan kita cobain ya yank sama2… Tiga temen kita satu angkatan gak bisa hadir wah pada kemana ya mereka itu…

Mie-nya banyak.. Ayamnya banyak.. Walaupun mungkin tampangnya biasa aja tapi yang beli terus berdatangan pokoknya laris dech, jadi cobain ja law mampir ke Purwokerto. Dengan harga sekita 6-ribuan kayaknya gak rugi di kantong apalagi untuk kaum pelajar. Poin 8 aja ya… Overall enak.

Salam Manis Chan & Bams

Mie Ayam yang Uaayaaammm Banget…

Purwokerto, 30 Juli 2011 Pukul 16:54


Malam minggu ini kemana yaa.. dengan arah tujuan yang gak jelas kamipun pergi jalan-jalan yang akhirnya berujung dengan minjem DVD di rentalan Play di daerah Brigjen Encung . Atas rekomendasi Chan akhirnya kita nyobain Mie Ayam Kamandaka, Chan pernah nyobain mie ini bareng temen-temen jadi sekarang tinggal ngajak yayank buat nyobain mie ini.

Letaknya ada di kawasan Brigjen Encung, dengan papan nama yang terletak di pinggir jalan tentunya tempat ini mudah ditemukan. Yang membuat mie ini special adalah karena suwiran ayamnya yang super banyak, dibilang super banyak karena dibandingkan dengan mie ayam lainnya ayamnya bisa 3 kali lebih banyak. Dengan mematok harga sebesar 6500 rupiah tentunya kenyang dan tak menguras kantong. Sayang yayank waktu itu sedang tidak enak badan sehingga tidak habis menyantap mie ini. Mie ini banyak peminatnya sehingga tidak heran mie ini juga membuka beberapa cabang untuk wilayah Purwokerto. Untuk nilai Chan kasih 8 dech.. hew2… selama ini jarang yang Chan kasih nilai 9 ya kapan-kapan dech hew2 kalo dikasih voucher sama yang punya ..

Salam manis Chan dan Bams